Mendaki yang Tak Lagi Jalan Sunyi

Para pendaki datang bertemu sunyi. Sunyi yang bercerita, sunyi yang bersahaja. Menjauh dari riuh. Mencari pangkal kabut, angin, dan aroma lumut. Memungut pesan Tuhan yang luput. Bertahun silam. Pada ilalang patah yang berkasih dengan sol sepatu. Saya tidak tahu bahwa itu demikian dahulu.

1
Trek dari base camp Cetho menuju pos 1

Saya pertama kali mendaki gunung yaitu Gunung Merbabu pada tahun 1995, saat itu kelas 2 SMA. Alasan mendaki, pertama diajak teman saya, sebut saya Cahyadi Joko Sukmono (yang kala itu adalah ketua Emapal_Emansipasi Pecinta Alam SMA 1 Klaten)-hemmm pokoknya akan selalu saya sebut sosok satu ini ih. Alasan kedua adalah jalan sunyi yang ditawarkan perjalanan ini. Sunyi dalam arti yang sesungguhnya.

Saya masih ingat sampai detik ini, bagaimana hamparan sabana Merbabu yang menawarkan kesenyapan yang akrab. Aroma angin yang membawa serbuk sari edelweis bulan Desember. Awan yang bergerak di kaki kita. Dan suara ilalang patah yang ditinggal sol sepatu. Scene yang selalu saya ingat bahkan ketika sudah sampai di rumah, berhari, berbulan, bahkan bertahun kemudian. Saya pun jatuh cinta pada kesenyapan gunung. Kenyapan yang menjadi saya merasa “pulang”. Hangat hati tanpa perlu alasan, tanpa syarat, tanpa janji tetapi selalu ditepati.

Alam yang alami. Yang ada adalah daur hidup sejak manusia belum ada, seperti terbekukan di sana. Lengkap dengan pohon, daur hidup, pengurai, dan kisahnya. Kabut yang membawa kondensasi, menjadikannya hujan, mengecambahkan benih-benih edelsweiss, ilalang gunung, bahkan spora jamur. Berabad-abad terjadi begitu. Keindahan sejati tak butuh perhatian, demikian kata film The Secret Life of Walter Mitty.

2
Tim dan pengantarnya

Lalu kemudian Homo sapiens seperti saya ini datang. Berniat menikmati kabut yang terkondensasi itu sambil menitipkan keresahan. Meraup energi dan kesegaran alam yang dipaketkan Tuhan atau sesekali membaca bahasa Tuhan yang tercecer di tebing, ngarai, dan di kelelahan kaki. Semua itu, sesekali dibekukan dalam cahaya yang terperangkap selulosa film. Kami butuh setidaknya seminggu setelah pendakian untuk mengetahuan hasilnya.

Apakah foto kami menggambarkan senyum yang tepat saat ganteng maksimal alih-alih nyengir menahan gigi yang kering karena tak segera terjepret. Apakah hidung kami tepat di tengah-tengah dan jelas dengan ASA 100 di keremangan kabut, sebab ASA 400 itu artinya kami harus mengurangi sarden dan kornet kami. Ataukah foto kami tepat seperti kegagahan yang kami ciptakan sendiri sebab gunung tak memberikan kegagahan itu. Gunung hanya memberikan persepsi yang kita kembangbiakan dalam nalar kita sendiri. Gunung memberikan Sabda Alam yang sama, peradaban lah yang memaknai dengan cara biasa atau terkadang ugal-ugalan.

Dan tak jarang, foto kami hanya berisi kegelapan sepanjang 24 atau 36 scene film. “Kayaknya filmnya ngga nyantol di shutter,” kata mas tukang cetak film. Itu artinya, ingatan tak lagi bisa kami raba dalam lukisan cahaya dan album. Ingatan itu hanya ada dalam hatiku dan hatimu (ya –mu nya ini biasa siapa saja, tak perlulah fokus ke satu orang eh).

Lantas apakah itu mengurangi esensi kami naik gunung? Tidak sama sekali. Ketika tak ada foto, hanya cerita yang kami bisa sampaikan pada teman yang tak ikut atau pada anak cucu kami kelak, kami tetap bahagia. Sebab dengan pujangganya saat itu kami tuliskan di kaus kami:
Mendaki bukan amor fati atau mencari kebanggaan diri. Tapi memaknai hidup yang hanya sekali. Kami pergi mencari diri sendiri.
Bah! *Seperti kata Iwan Sumatupang, atau “mih” seperti kata Cok Sawitri*.

Tapi begitulah pada saat itu. Mendaki gunung memang betul-betul perjalanan sunyi. Bila foto gagal, memang yang tahu hanya saya, teman saya, dan keresahan yang rasa-rasanya abadi itu.

Sampai kemudian datanglah era digital, media sosial, hingga gunung- perjalanan sunyi ini menjadi target tujuan wisata. Gunung adalah aset, tontonan layaknya kebun binatang. Yang alami itu kemudian menjadi sachet-sachet yang dijual untuk para pemburu alam. Apakah para pemburu alam ini juga pemburu ketenangan seperti kami-kami dulu?

Ah, siapa tah saya ini untuk menjawab. Saya bukanlah John Krakauer yang akhirnya terjerembab dalam kubangan kehilangan di In The Thin Air. Atau Norman Edwin yang berbaring abadi di tempat sunyi itu.

Cetho dan Kembara Para Pencari Sunyi

Lawu memang mistis, itu yang saya rasakan sejak zaman SMA. Saat itu, kami mendaki Lawu via Cemara Kandang dan Cemara Sewu, tak selalu sampai puncak. Ada yang kena badai di jalan, lalu kami turun. Ada yang kami mlungker saja di ceruk tebing saat 1 Suro dan menghitung bintang jatu di pos 2, malas melanjutkan perjalanan. Ada pula dan seringkali terjadi, tiba-tiba kabut tebal, pendakian ditutup jika ada pendaki yang hilang. Memang gunung punya kisah sendiri, seperti langkah, hanya Lawu bagi saya sungguh terasa bedanya.

3
Sesaat sebelum hujan, Mbak Ayu dari pos 3 ke pos 4. Setelah hujan, ya jalur ini semakin gimana gitu.

“Cetho itu gerbangnya Lawu,” kata Mbak Ayu ketika bercerita tentang jalur ini. Ia menirukan kata Mas Well, demikian kami memanggil Samsu Wal Qomar (apa kabar Mas Wel? Terima kasih dulu pinjaman carrier coklat dan merahnya eh), kakak tingkat kami di Kompos yang rasanya sudah menyatu dengan jalur ini. Dulu Mbak Ayu dan Mas Wel pernah memasang petunjuk di jalur ini dan jalur ini adalah jalur SAR.

Akhir Desember 2018, kami memilih jalur ini. Jalur yang kami anggap sunyi sebab menurut Mbak Ayuk, jalur Cemara Kandang dan Cemara Sewu sudah terlalu sibuk. Jalanan yang lebar dengan banyak para penjual, seperti tak mendaki gunung. Katanya demikian.

Kami bersebelas, terdiri dari 6 orang dewasa dan 5 anak usia di bawah 15 tahun. Anak-anak kami. Pemilihan jalur Cetho bisa kami pertanggungjawabkan sebab sebelumnya kami sudah “latihan” di jalur Gunung Welirang yang berbatu, terasa berat bagi kami.

“Jalur Lawu tidak begitu. Datar. Tanah,” kata Mbak Ayu. Ingatan saya juga demikian. Kalaupun jalur Cetho, sedikit nanjak, tapi hutannya cantik.

Begitulah. Kami lupa bahwa saat itu usia kami kepala dua. Kami pun lupa, bahwa gunung kini adalah destinasi wisata yang instagrammable. Sekali lagi, kami lupa, ini musim hujan.

5
Sahabat itu, kamu Her…yang menjadikan segala yang tak mungkin jadi mungkin, dari dulu. Tak berubah. Sehat selalu untukmu dan keluargamu.

Usai mendaftar di pos pendakian, dan disambut dengan was was petugasnya sebab kami membawa anak-anak, hutan yang indah memang menyambut kami. Pucuk keluarga Altingia (salah satunya rasamala) sedang cantik-cantiknya. Warnanya merah. Aroma paku dan lumut basah, harum yang tiba-tiba (tenang, ini bukan mistis, ini wangi bunga-bunga di pohon yang terkadang tak kita lihat), mewarnai perjalanan kami. Indah.

Mulai agak-agak tersengal dari pos 1 ke dua dan kemudian 2 ke 3. Inilah jalur Cetho yang sesungguhnya. Menanjak, terjal, dan panjang. Makanya tidak populer. Tapi jangan salah, tak lagi sepi di sini. Saya tak tahu, berapa jumlah pendaki yang naik bareng kami pada saat itu, yang jelas, di bawah pos 3, satu-satu pos yang ada air dan tempat biasa camp, sudah sangat penuh. Kami mendapat tempat yang tak nyaman untuk tenda kami dan terpisah-pisah. Dua tenda di dekat air, dan sangat dekat hingga terasa lembapnya. Satu lagi mengalami tidur yang sungguh terjal sebab lapisan tanahnya miring. Masih untung tendanya tidak meluncur ke bawah seisi-isinya saat badai di malam pertama itu. Kami menginap di sini 2 malam hanya untuk mencapai pos 4. Sebuah pendakian yang sungguh hore.

Di Semeru saja kuota 600 pendaki per hari selalu terpenuhi, bagaimana gunung lain tak demikian? Apapun, saya sungguh bahagia pada perjalanan kemarin hanya karena memberi kenangan pada anak-anak kami. Mengajak ke dunia yang dulu pernah membuat kami serasa pulang, kami dicintai, meski tak terasa kesunyian itu lagi.

Ada yang hilang, tentu saja ini perasaan saya dan pendaki tua lainnya, mungkin. Ketika gunung menjadi demikian riuh. Ketika para pendaki masih sibuk utak utik HP di tempat yang masih ada sinyal bahkan sudah ditandai dengan pos. Di Semeru misalnya, bahkan di pos 2 masih bisa berhalo-halo. Peradaban manusia seolah merambah ke tempat-tempat terjal bahkan tempat kaki-kaki ini masih terasa gemetar tak siap dengan perubahan.

Alat-alat yang dibawa pun semakin lengkap dan memberikan garansi keren difoto. Lebih dari itu, tentu kemudahan dan keamanan yang dijanjikan. Minimal nasting bersih tak harus berkutat dengan kompor parafin. Mendaki gunung pun bukan olah raga yang miskin menderita dan papa.

Apa kaukira pendaki sekarang cukup berbekal beras, Indomie Ayam Bawang, ikan asin yang provokatif, dan meraup sayuran hutan yang kita temukan. Beragam merek makanan industri besar sudah seperti toko ritail sebelah rumah. Pun sebetulnya kami, para emak ini. Kami memastikan, bocah-bocah kami tetap bisa menyantap hidangan bergizi standar peradaban meski kebersihan nomor dua.

Setiap zaman punya cara berbeda dalam memaknai perjalanan, meraup kegembiraan, juga memaknai ayat Tuhan. Tentu saja kami tak ingin merasa paling benar. Saya melonggarkan pemahan dengan cara demikian meski agak sedikit gagap dan keheranan. Harapannya, tak ada yang dirugikan ketika masyarakat di sekitar gunung membangun vila, meraup untung dari kedatangan para pencari sachet alam ini.

Sementara kami dulu, sudah cukup bahagia dan hangat melungker di Pondok Pendaki yang tentu saja bermodal api unggun, obrolan dari kota satu ke kota lain yang dibawa pendaki. Ketika lutut kami saling mendekat, pada hangat kopi di cangkir yang kami bagi,  pada api yang menjadikannya abu, saat itulah kami merasa tak kesepian di tempat sepi. Kami pulang pada sebuah rumah yang menerima kami saat panas dan hujan. Saat punya banyak uang dengan bekal Silverqueen atau cukup proletar dengan gula merah di mulut. Menerima kami saat resah maupun saat sibuk mencari perkara. Tempat yang tak membuat kami ingin ke mana-mana sekaligus ada di mana-mana.

Kami tak perlu colokan, fakir sinyal, atau kesibukan berteknologi lainnya. Teknologi kami mungkin sebatas berburu dan meramu, dan sungguh kami rindu saat itu. Kamu, rindukah padaku? Jawab saya iya, toh tidak ada ruginya. Kalau itu hoaks, hoaks yang menggembirakan.

Catatan: Untuk Mbak Ayu, Hery, Om Jati, Om-nya Bening, Pak Wal, terima kasih atas perjalanan yang menggembirakan. Untuk anak-anak hebat kami Sausan, Bening, Ifa, Kak Sekar, dan Tia, kalian tahu, betapa sih Bapak penjaga pos sungguh girang tak tertahan ketika melihat kalian turun dengan gembira tak kurang suatu apa.

Semoga perjalanan hari ini adalah keindahan yang asing bagi teman yang lain, tapi akan menjadi ramah dan rumah hangat dalam ingatan. Setidaknya itu yang coba kami bagikan ketika tak ada kenangan yang tepat benar dan segar ketika kami yang membungkuskan tanpa kehadiran kalian.  

4
Pulang itu seperti…dirimu.

Leave a comment