Sebuah Dapur di Ranu Pani

Aroma kayu yang mengabu, suara percikan api, dan kopi hangat dalam dingin. Lutut kita yang yang saling mendekat untuk obrolan sederhana tentang sebuah perjalanan dan hal yang tak menimbulkan pertikaian, kita akan selalu merindukannya. Dapur itu, dengan jelaga yang menghitam akan mengisahkan.

dapur3
Dapur Orang-Orang Ranupani

Saya sedang ingin menyelesaikan buku Tempat Terbaik di Dunia (2018), hasil penelitian dari antropologi Ronne Van Voorst. Buku itu memberi ide untuk menuliskan ini, Sambil membaca sambil memilah foto perjalanan ke Ranupani minggu lalu (kok bisa, gimana caranya baca sambi milih foto. Sudahlah, akhir-akhir ini memang saya susah sekali fokus). Justru itu kemudian saya terpaku pada foto di dapur salah satu warga di Ranupani.
Siang itu, awal Agustus ketika kami memutuskan untuk mencukupkan pengambilan gambar pembersihan danau. Agustus yang nyaris beku ketika di Dieng dikabarkan suhu di bawah nol, Ranu Pani pun demikian juga. Sesungguhnya saya tak beruntung sebab memotret dalam kabut itu hasilnya tak memuaskan, dari sudut mana pun saya harus mengisahkan. Tapi teman perjalanan saya, videografer, mengaku senang karena gambarnya dramatis.
Mas Andi Gondronk, inisiator pembersihan danau, tema yang sedang kami ambil kisahnya itu sudah sejak awal mengajak kami untuk makan dulu begitu tiba di Ranu Pani. Ada warga yang mengundang Mas Andi untuk makan karena ada acara peringatan meninggalnya salah satu warga. Hanya begitu melihat lokasi, kami menunda makan sampai siang baru terasa, bahwa saya belum sarapan. Mbak Sisca dan Mas Heksa, tempat saya menginap sebenarnya mau mengajak makan sebelum jalan, hanya kami harus sampai Ranu Pani sebelum pukul 08.00 WIB sebab kabarnya jalan ditutup untuk perbaikan. Jadi, praktis, saya makan terakhir 18 jam sebelum saya sampai lokasi, di sebuah kafe tempat kami membuat rancangan pengambilan gambar. Dingin desa itu tanpa sadar menjadikan tangan saya mulai gemetar.
Tiba di rumah salah satu warga, saya sempat mau melepas sepatu, sebab lantainya keramik dan bersih. Hal yang kerap dilakukan di beberapa rumah. Mas Andi tidak melakukannya, dan saya melihat orang-orang ada di dalam juga tak melakukan. Maka saya tak jadi melepas sepatu boot yang lumayan basah meski tak tembus sampai kaus kaki.
Di ruang tamu, kami meletakkan peralatan. Saya menggigil. Kalau kemudian duduk di ruang tamu ini dan berbasa-basi dulu, sepertinya saya akan pingsan. Lapar saya mungkin bisa tahan, tapi dingin dengan badan saya yang tipis ini, ditambah perjalanan dengan bus Kediri-Malang selama 6 jam, rasanya akan membuat saya cepat roboh. Iya, 6 jam! Kekesalan saya akan sistem transportasi yang buruk itu yang sebenarnya menggerogoti kehangatan hati ini.
Hanya kadang saya kok menjadi congkak ketika kebiasaan di Jakarta yang semua serba tersedia, saya bawa ke tempat saya tinggal kini. Saya mudah sekali emosi untuk hal-hal yang bagi warga di sini “sudah biasa”. Sesungguhnya berbahagialah warga Jakarta yang dimanja oleh fasilitas, apapun kondisinya.
Mas Andi langsung saja menuju ke dapur. Saya agak canggung mengikuti. Dan, di sanalah kisah ini dimulai. Dapur itu sungguh hangat. Dalam arti yang sesungguhnya sebab ada tungku yang terus menyala meski tak memasak apa-apa. Dan dalam arti metafora, di sanalah ruang perbicangana dan orang-orang Ranupani menerima tamu.
Dapur yang Berkisah

dapur 1
Seperti cinta api yang menjadikannya abu…

“Haya wegah (tidak mau),” kata Mas Andi ketika saya cerita bahwa saya menduga kita akan duduk di ruang tamu. Acara itu sebenarnya sudah lewat, hanya makanan masih bertumpuk di meja. Dan itu meja dapur.
Dua gelas kopi panas dan sangat manis terhidang ketika api di tungku menyala menghangatkan. Tuan rumah mempersilakan dan menaruhnya di atas tungku. Aroma kayu yang mengabu, dingin, dan bunyi percikan api itu adalah aroma yang selalu saya rindukan. Ada sekian keindahan yang tersimpan dalam amigdala, ketika menemukan kembali, serasa “pulang”.
Saya makan beberapa kue basah yang dibungkus dengan daun. Saya suka dengan hidangan tradisional mulai dari nagasari, cara bikan, cucur, dan beberapa bungkusan lain sisa upacara peringatan kematian itu. Hanya saya sedikit terganggu dengan adanya makanan ringan pabrikan yang dibungkus plastik dengan desain kemasan yang bagus. Di sinilah keegoisan saya sebagai pejalan yang punya keinginan bahwa desa seperti Ranu Pani dan desa-desa lain membeku oleh waktu. Tidak beranjak dan berpeluk dengan “kemajuan”. Semuanya bergerak dan terkadang retak menjadi patahan, tak tahu akan ke mana melangkah.
Saya memerhatikan tungku itu. Tungku dengan 2 lubang mengingatkan saya pada tungku nenek saya untuk memasak nira. Dulu saya tinggal di rumah joglo dengan 40 batang pohon kelapa penghasil nira. Ada 3 lubang di sana, sehingga rapak (daun tebu kering) bisa masuk tanpa sisa dan terbakar utuh. Api yang menari dalam cahaya itu sungguh memesona bagi saya yang belum mengenal penerangan listrik. Tiga kuali bisa dimasak bersamaan dengan fokus yang masak duluan adalah nomor 1 dan 2. Bisanya nenek menaruh air untuk mandi di kuali tanah paling belakang. Kami menyebut tungku seperti itu “pawonan”.
Di tungku itu, saya dan Yu Sri (saudara sepupu yang seumuran, tempat “kejahatan” bermula) saat itu belum SD, melakukan banyak aksi yang kerap kali berujung petaka. Mulai dari tangan saya yang terkelupas karena tercelup nira panas, hingga nyaris membakar dapur sekaligus rumah kami. Di sisi lain, saya tak bisa melupakan lezatnya kelapa yang dimasukkan ke dalam nira (secara sembunyi tentunya) yang kami makan saat itu. Rasanya anak kecil di seluruh dunia akan sangat suka gula dan gulali, begitulah tungku nenek itu sumber manis itu.
Di dapur Ranu Pani ini, kami makan dan mengobrol. Beberapa orang pun datang untuk makan, lalu pergi. Jika ada satu orang punya makanan dari sisa hajatan, artinya semua warga sekitar bisa turut menghabiskan. Dapur menjadi ruang sosial yang lebih hangat dibanding ruang tamu dengan kursi yang lebih bagus berukir. Di sini kami “hanya” duduk di papan kayu pendek, hanya nikmatnya memang melebihi di mana pun tempat di rumah ini.
Sketsa Dapur Asia

dapur2
Transformasi dapur dari tungku ke kompos gas lengkap dengan kitchen set

Dapur dengan nyala api ini dipertahankan karena selain untuk memasak juga menghangatkan. Hal yang tak bisa dilakukan oleh kompor gas dan dapur “bersih” tanpa jelaga. Kenyataannya, rumah yang saya datangi juga mulai membangun dapur “modern” dengan kompos gas dan sink untuk mencuci piring. Sebuah evolusi dapur seperti di tivi dan majalah interior.
Saya pernah menulis untuk media interior sekitar 5 tahun. Dapur orang-orang Ranu Pani seperti ini tak mungkin ada di majalah yang saya tulis dan wilayah edarnya pun seluruh Indonesia, termasuk desa seperti Ranu Pani ini, datang sebagai majalah bekas, mungkin. Hanya satu hal yang sama yang bisa dilakukan majalah gaya hidup baik baru atau bekas, mereka menawarkan “mimpi” perubahan. Anda akan keren dan modern jika seperti yang ada di majalah itu. Di mana pun dan apapun akar budaya Anda.
“Kamu tahu tidak, dapur Asia itu tak seperti dapur Eropa dan USA yang clean. Makanan kita beda, prosesnya beda, jadi kenapa dapurnya harus sama?” kata Cok Sawitri, budayawan dari Bali, teman untuk bercakap hal-hal serius sampai yang tidak penting sekalipun. Saat itu, via telepon, kami berdiskusi bagaimana stadar kebersihan digariskan. Apakah abu dan jelaga itu kategori kotor ketika itu dihasilkan oleh api? Dan kita tahu bukan, sterilisasi alat di laboratorium pun salah satunya dengan api spiritus sebelum kita memakai pinset atau alat-alat logam lainnya?
Tahun 2010-an, di majalah itu kami mulai membahas dapur dengan serius bahkan dibandingkan dengan livingroom dan diningroom. Sebab orang-orang modern menjadikan dapur sebagai ruang keluarga, ruang serbaguna tempat cinta memiliki aroma. Di Ranu Pani, sejak desa ini berdiri, dapur adalah ruang hangat itu. Dan tentu saja, bukan untuk keluarga tetapi juga fungsi sosial bahwa semua warga adalah keluarga atau “dikeluargakan”.
Alasan pragmatisnya, sebab Ranu Pani dingin dan dapur dengan tungku menghangatkan. Teknologi dan gaya hidup mereka adalah respon terhadap alam untuk bertahan hidup. Lantas bagaimana jika kemudian ada teknologi dan budaya yang dijejalkan sebab berhasil mencintrakan mimpi yang sesungguhnya jauh dari gaya hidup mereka, tak lagi menjadi respon terhadap alam setempat?

Ada keasingan yang berjarak, ada akar yang hilang, tanpa disadari kita akan menjadi teralienasi oleh rumah kita sendiri. Jared Diamond, antropolog terkenal itu menulis dalam trilogi bukunya, salah satunya di buku Collapse, Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia (2005). Penyebab runtuhnya bukan hanya perang, tetapi juga budaya yang dipaksakan baik sadar maupun tak sadar.

Di luar dapur itu, Ranu Pani memang berubah. Sudah jauh berbeda sebagaimana saya mengunjungi pertama kali tahun 1999 ketika mau ke Semeru. Modernisasi, mungkin seperti itu. Hanya ada “ketenangan” psikologis yang tak ingin terkoyak ketika saya ke toilet, ada nasi, makanan, yang diletakkan di atas daun. Sebuah persembahan untuk “Penjaga Sumber Air”. Sesaji yang masih ditunaikan meski mereka kini banyak menjadi muslim. Saya mengenalnya karena nenek saya pun melakukan, tak peduli ia sudah sholat 5 waktu dan anak-anaknya sudah membawa “kemoderenannya”. Ada kehangatan yang tak bisa saya ceritakan ketika saya melihat nenek saya khusu’ membakar dupa sambil membaca doa berbahasa Jawa Kuno.

Kopi yang sangat manis itu mulai dingin tanpa harus mengikuti cara orang-orang Ranupani meminum kopi yaitu dengan menuangkan ke dalam piring kecil lalu meminumnya dari piring itu. Jika saya mencoba, saya tahu hasilnya, pasti akan tumpah. Saya sedang tidak ingin ditertawakan apalagi sama videografer saya yang begitu bahagia dengan segala kesialan saya.

Dia pun bertanya dengan berbisik dan serius,” Jadi gimana kita membayarnya? Mas Andi atau ke siapa?”.
Saya menahan tawa, dan berniat ngerjain. Tapi tak mudah berpura-pura di depannya. Saya harusnya mengutip bayaran dari ketidaktahuannya bahwa kita ikut Mas Andi yang diundang makan. Dapur yang rupanya oleh teman saya dikira warung itu (mungkin warung di sini juga sama dengan suasana ini kah?), adalah orang yang sedang punya kerja. Uang tak laku untuk jamuan dan keramahan mereka.

 

Leave a comment